Kalau berbalas pantun dengan
kawan-kawan dari Malaysia,
seorang Indonesia pasti kalah.
---
Daniel Dhakidae
Ucapan
Daniel Dhakidae di atas terdapat dalam tulisannya, “Sampiran, Isi, dan
Sisi-sisi Kehidupan Menurut Pantun” yang terdapat dalam buku Kebijakan dalam 1001 Pantun karya John
Gawa yang diterbitkan oleh Penerbit Buku KOMPAS Jakarta, 2004. Dan pada akhir tulisannya
Daniel memekik, “Pantun sudah mati, hidup
pantun!” Apakah kau pernah membaca buku itu, Saudara-saudari sepantun
sedunia?
Kau
tahu, seorang Daniel adalah penulis kawakan yang lebih banyak berada di suatu
tempat dan habitat yang sama sekali tidak menjadikan pantun sebagai bagian
keseharian dalam pergaulan masyarakatnya. Suatu ketika Daniel, bersama beberapa
staf Litbang Kompas, mengunjungi
Kuala Lumpur, Malaysia, dalam rangka suatu kerjasama penelitian tentang “kelas
menengah” dengan Universiti Kebangsaan Malaysia, dan sedang ngobrol dengan
seorang kolega perempuan Malaysia dan kawan-kawan lainnya berlanjut menjadi
berbalas pantun sampai panjang pantun-berpantun, Daniel akhirnya menyerah. “Kalau berbalas pantun dengan kawan-kawan
dari Malaysia, seorang Indonesia pasti kalah,” katanya.
Meski
Daniel Dhakidae seorang penulis senior-tersohor dan bekerja di sebuah
penerbitan surat kabar nasional bernama Kompas,
dan kau tahu itu (silakan mencari namanya lewat bantuan penerawangan Mbah
Google), mohon tidak menganggap pendapatnya sebagai sebuah harga mati yang
sudah tidak bisa ditawar lagi dalam dunia pantun Indonesia. Daniel Dhakidae tidaklah
hebat; tidaklah berwawasan serba luar biasa. Dalam persoalan pantun-berpantun,
rupanya Daniel tidak ubahnya seekor katak dalam tempurung, dan akhirnya mampus
di dalamnya sambil mengucapkan pesan terakhir, “Pantun sudah mati, hidup pantun!” Kasihan sekali, Saudara-saudari
sepantun sedunia.
Sungguh
kasihan nasib seorang Daniel. Sok-sok-an
berpantun di negeri orang, yang memang Melayu. Kalau memang tidak biasa
berpantun, akui saja. “Maafkan saya, Kawan-kawan. Saya tak pandai berpantun,”
begitu saja, selesai. Apa boleh buat, kesombongannya sebagai penulis kawakan
harus dibayar mahal: menyerah.
Kasihannya
lagi, orang sehebat Daniel begitu lancang sesumbar, “Kalau berbalas pantun dengan kawan-kawan dari Malaysia, seorang
Indonesia pasti kalah.” Terlalu terburu-buru sebelum seorang Daniel
benar-benar telah melakukan pengembaraan bertahun-tahun di seluruh Indonesia,
atau minimal dua tahun di Bangka Belitung.
Teramat
kasihannya, ucapan itu diabadikan oleh buku terbitan Kompas tahun 2004! Seakan-akan di Indonesia sudah punah pemantun.
Atau, para pemantun Indonesia hanya para pecundang yang cuma jago kandang.
Seorang Daniel dan penerbit buku itu memang patut dikasihani dalam rangka
pantun-berpantun, Saudara-saudari sepantun sedunia.
Sesumbarnya
“seorang Indonesia pasti kalah” boleh
dibilang “keji”, Saudara-saudari sepantun sedunia! Bayangkan, “seorang Indonesia”!
Daniel pasti bisa memperkirakan berapa ratus juta penduduk Indonesia; berapa
ratus juta Warga Negara Indonesia pasca tahun 2000. Masakan, dari sekian ratus
juta penduduk Indonesia, “seorang Indonesia” atau “seorang” saja pasti kalah
berbalas pantun dengan kawan-kawan dari Malaysia. Betapa kasihannya “seorang
katak dalam bungkus tempurung dari ribuan kertas” ini.
Ketahuilah,
wahai Kawan-kawan, Daniel Dhakidae tidak usah dipercaya seratus persen dalam
menulis! Serius. Biarkan Daniel sendiri yang mampus ketika harus berbalas
pantun dengan kawan-kawan dari Malaysia. Biarkan “mayatnya terapung dan
dimangsa ikan bilis dan kerisi” di Selat Malaka sana. Biarkan. Biarkan. Mengapa
begitu, Saudara-saudari sepantun sedunia?
Begini
saja, tidak perlu begitu. Masih ada “seseorang” di antara sekian jumlah
pemantun dan ratusan juta penduduk Indonesia yang tidak kalah dengan para
pemantun dari Negeri Jiran itu. “Seseorang” ini hanya seorang buruh harian di
tempat pelelangan ikan desa Kurau, Bangka Tengah. Pendidikannya hanya sampai SD,
dan tidak tamat. Tentu saja wawasannya sangat jauh di bawah kelas seorang
Daniel Dhakidae. Siapakah “seseorang” itu, Saudara-saudari sepantun sedunia?
Namanya
Kario, Saudara-saudari sepantun sedunia ! Sering juga Kario Kurawa bin Nawi.
Lahir di desa Kurau, Bangka Tengah, Bangka Belitung, 1 Januari 1978. Nama
sambungan “Kurawa” diambilnya dari kata “Kurau”, desa kelahirannya. Sebelum
tahun 2005, Kario hanyalah seorang buruh harian. Dia bukan seorang penulis
pantun yang berkibar-kibar namanya, apalagi seorang penulis sekelas Daniel
Dhakidae itu. Dia seorang pemantun lisan; setiap hari berbicara penuh pantun.
Namanya sebagai pemantun tidaklah tenar sama sekali dalam hingar-bingar dunia
sastra Indonesia.
Tahun
2003 dia mulai tampil dalam pertandingan berbalas pantun. Pertama kali dalam
Lomba Pantun di acara Hari Ulang Tahun PT Kobatin (sebuah perusahaan
penambangan timah yang dulu milik Australia), Bangka Tengah. Lomba Pantun
bukanlah lomba menulis pantun, sebab di sana pantun lebih dikenal sebagai
pantun lisan. Kau bisa bayangkan, sebuah lomba tingkat umum, di suatu daerah
berbudaya Melayu, dan tentunya diikuti pula oleh guru-guru sekolah menengah
atas yang jelas secara pendidikan dan sosialnya, dan di situ seorang Kario yang
belajar di SD saja tidak tamat tetapi berani bertanding. Hasil yang diraihnya
dalam lomba itu : JUARA I!
Masih di
tahun 2003, Saudara-saudari sepantun sedunia. Kario mengikuti Lomba Pantun
se-Kabupaten Bangka Tengah. Dia meraih JUARA I. Berikutnya, Lomba Pantun
se-Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, juara I dibawanya pulang ke Kurau.
Pernah menonton film “Laskar Pelangi”, dimana ada adegan anak-anak Belitung
berpantun? Begitulah adanya sebagian masyarakat Bumi Serumpun Sebalai alias
Bangka Belitung.
Dalam
lingkup dunia persilatan pantun Bangka Belitung, Kario memang jawaranya;
rajanya. Ada yang menggelari Kario “Raja Pantun Bangka Belitung”. Sedangkan Gus
Noy lebih suka memberi gelar “Datuk Pelantun Kata”. Namun, Saudara-saudari
sebangsa dan setanah air, sepantun dan sedunia pantun, tidaklah cukup berpantun
hanya dalam provinsi yang satu atau senegara yang satu, jika sebagian orang sependapat
dengan Daniel Dhakidae, “Kalau berbalas
pantun dengan kawan-kawan dari Malaysia, seorang Indonesia pasti kalah.”
Di tahun
itu pula diadakan acara Festival Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI), yang
dituanrumahkan oleh Pangkal Pinang, ibukota Babel. Para pesertanya tentu saja
dari rumpun Melayu, termasuk Malaysia. Dalam agenda acara tersebut ada juga Lomba
Pantun. Kario ikut bertarung pantun di sana, mewakili Kabupaten Bangka Tengah.
Hasilnya sangat telak: JUARA I.
Mungkin
ada yang menyangka, faktor tuan rumah menjadi penambah mental bagi seorang
petarung. Sangkaan semacam “katak di dalam tempurung” alias “pecundang jago kandang”.
Baiklah. Sangkaan yang umum, lumrah, jamak, dan biasa. Tapi tidak bisa begitu
melulu, Saudara-saudari sepantun sedunia!
Tahun
2004 Festival Dunia Melayu Dunia Islam diselenggarakan di Malaysia. Ibaratnya
seperti pecundang Daniel Dhakidae itu, “Inilah kandang harimau Pantun Melayu!” Ya,
kalau kau percaya pada doktrinnya Daniel Dhakidae, betapa ngeri “menghalau
harimau-harimau pantun Melayu dalam kandang harimau itu”. Itu yang Daniel
bilang, “Seorang Indonesia pasti kalah,
kalau berbalas pantun dengan
kawan-kawan dari Malaysia.”
Sekali
lagi, jangan percaya ucapan seorang pecundang, Saudara-saudari sepantun
sedunia. Sang pecundang memang tidak terbiasa berpantun. Habitatnya memang
dunia kata-kata dan prestasi sudah tiada terkata, tetapi tidaklah pernah
bertarung pantun secara resmi dalam kategori lintas negara. Pantas saja si
pecundang menyerah, apalagi di “kandang harimau”.
Dalam
festival itu Kario ikut lagi tapi kali ini mewakili Babel. Mental anak kampung
yang penuh amis ikan itu tidak seperti si penulis besar tapi pecundang. Kario
berduel dengan para pemantun dari seluruh negeri ranah Melayu. Alhasil, di
“kandang harimau” dalam Festival DMDI tersebut Kario menangguk JUARA I,
Saudara-saudari sepantun sedunia!
Masih di
tahun 2004. Kario juga tampil dalam Lomba Pengucapan Pantun se-Dunia di Hang
Tuah, Malaysia. Dan dia menjadi jawara di sana; lagi-lagi di “kandang harimau
pantun Melayu”! Harimau-harimau pantun Malaysia harus mengakui kehebatan seorang
buruh yang sehari-harinya hanyalah buruh harian yang berkutat dengan bau amis
ikan dan semerbak keringat para nelayan alias “Sang Datuk Pelantun Kata dari
desa Kurau” yang sangat tidak terkenal, baik di Indonesia maupun dunia.
Dari
semua pertarungan pantun itu, semuanya pula dicapai oleh seorang Kario dengan
hasil “Juara I”. Tidak ada juara harapan seratus yang hanya mendapat hiburan
berupa lagu-lagu hiburan atau dihibur oleh para hiburan, apalagi juara II. Suatu
pencapaian yang sangat tidak sembarangan. Tidak keliru jika ada yang kemudian
menggelarinya, “Raja Pantun Melayu”.
Di
samping pertarungan-pertarungan pantun, selanjutnya Kario menjadi tamu undangan
khusus sebagai pemantun. Misalnya Seminar DMDI di Universiti Malaya, Kuala
Lumpur, Pertemuan Seniman Rumpun Melayu di Air Keroh, Malaysia, dan acara-acara
adat lainnya, termasuk sebuah hajatan pernikahan anak petinggi Pangkal Pinang
yang diselenggarakan di Jakarta.
Hari-harinya
memang masih sebagai buruh harian di tempat pelelangan ikan, desa Kurau. Itu
pekerjaan utamanya. Barulah tahun-tahun selanjutnya Kario diberi kesempatan
mengajar pantun di sebuah SD di desa Kurau. Kau bayangkan saja, orang tidak
tamat SD tapi “mengajar” di sebuah SD. Apalagi dia belum juga tertarik dengan
dunia internet seperti Saudara-saudari sepantun sedunia ini.
Selain
menjadi buruh, dan pengajar pantun di sebuah SD, Kario juga diminta mengisi
acara berbalas pantun setiap minggu di sebuah radio FM Pangkal Pinang, yang
jaraknya sekitar 30 km dari desanya. Kini sebagian wilayah Babel sudah bisa
mendengar suara dan pantunnya. Kario pun sadar bahwa tradisi berpantun memang
tradisi masyarakat Bangka Belitung.
Harian Umum KOMPAS (Sabtu, 07 Oktober 2006, hal.16) melalui rubrik Sosok dan ditulis oleh Emilius Caesar Alexey, barulah mengulas
sedikit profil Kario beserta aktivitasnya. Sebagian kutipan dari harian tersebut, “Di antara masyarakat yang gemar berpantun itu, terdapat satu orang yang
layak disebut pujangga pantun terbaik. Pujangga itu, Kario, mampu berbalas
pantun sampai ratusan kali dalam dua jam, "melawan" ratusan orang.
Dia mampu mengalahkan semua jawara pantun di seluruh rentang tanah Melayu dalam
acara "Dunia Melayu Dunia Islam" di Malaka, Malaysia, tahun 2004.”
Nah,
itulah! Sangat mengejutkan, “Dia mampu mengalahkan semua jawara
pantun di seluruh rentang tanah Melayu”. Semua jawara pantun tanah Melayu.
Tahun 2008
merupakan tonggak awal dalam salah satu upaya pengabadian karyanya. Pada tahun
itu buku kumpulan pantun perdananya terbit, “Pantun Melayu Negeri Selawang
Segantang”. Upaya tersebut bekerjasama dengan Dinas Pendidikan, Kebudayaan dan
Pariwisata Bangka Tengah. Buku setebal 86 halaman tersebut berisi aneka pantun
seperti pantun pembuka, agama, nasehat, teka-teki, jenaka, narkoba, wisata,
hingga nelayan, yang merupakan pantun-pantun terbarunya. Kario sengaja menciptakan
pantun-pantun terbarunya itu untuk pariwisata di Bangka Tengah.
Kario pun
sering diminta tampil dalam acara-acara budaya atau apa saja, terutama di
Bangka Belitung. Apalagi kalau bukan berpantun, dan tentunya ada ‘lawan’
berpantunnya. Meski penghidupannya sudah berangsur bagus, seorang Kario
tetaplah anak kampung, budak Kurau,
yang santun dan ramah terhadap banyak orang, termasuk jika kau mengunjunginya
di sana.
Dengan
kehadiran Kario Kurawa bin Nawi alias Sang Raja Pantun Melayu pasca 2000 dalam
tulisan ini, semoga Saudara-saudari sepantun sedunia melupakan doktrin seorang
Daniel Dhakidae, “Kalau berbalas pantun
dengan kawan-kawan dari Malaysia, seorang Indonesia pasti kalah ”, dan
proklamasi murahannya, “Pantun sudah
mati, hidup pantun!”
*******
Balikpapan,
22 Desember 2011
Pantun sudah mati, hidup pantun !
BalasHapusDi Bangka, pantun lestari. Beberapa radio masih menyiarkan acara berbalas pantun. Juga lomba berbalas pantun.
Hapus