Rabu, 31 Juli 2013

Raja Pantun Melayu Pasca 2000


Kalau berbalas pantun dengan kawan-kawan dari Malaysia,
seorang Indonesia pasti kalah.
--- Daniel Dhakidae

Ucapan Daniel Dhakidae di atas terdapat dalam tulisannya, “Sampiran, Isi, dan Sisi-sisi Kehidupan Menurut Pantun” yang terdapat dalam buku Kebijakan dalam 1001 Pantun karya John Gawa yang diterbitkan oleh Penerbit Buku KOMPAS Jakarta, 2004. Dan pada akhir tulisannya Daniel memekik, “Pantun sudah mati, hidup pantun!” Apakah kau pernah membaca buku itu, Saudara-saudari sepantun sedunia?

Kau tahu, seorang Daniel adalah penulis kawakan yang lebih banyak berada di suatu tempat dan habitat yang sama sekali tidak menjadikan pantun sebagai bagian keseharian dalam pergaulan masyarakatnya. Suatu ketika Daniel, bersama beberapa staf Litbang Kompas, mengunjungi Kuala Lumpur, Malaysia, dalam rangka suatu kerjasama penelitian tentang “kelas menengah” dengan Universiti Kebangsaan Malaysia, dan sedang ngobrol dengan seorang kolega perempuan Malaysia dan kawan-kawan lainnya berlanjut menjadi berbalas pantun sampai panjang pantun-berpantun, Daniel akhirnya menyerah. “Kalau berbalas pantun dengan kawan-kawan dari Malaysia, seorang Indonesia pasti kalah,” katanya.

Meski Daniel Dhakidae seorang penulis senior-tersohor dan bekerja di sebuah penerbitan surat kabar nasional bernama Kompas, dan kau tahu itu (silakan mencari namanya lewat bantuan penerawangan Mbah Google), mohon tidak menganggap pendapatnya sebagai sebuah harga mati yang sudah tidak bisa ditawar lagi dalam dunia pantun Indonesia. Daniel Dhakidae tidaklah hebat; tidaklah berwawasan serba luar biasa. Dalam persoalan pantun-berpantun, rupanya Daniel tidak ubahnya seekor katak dalam tempurung, dan akhirnya mampus di dalamnya sambil mengucapkan pesan terakhir, “Pantun sudah mati, hidup pantun!” Kasihan sekali, Saudara-saudari sepantun sedunia.

Sungguh kasihan nasib seorang Daniel. Sok-sok-an berpantun di negeri orang, yang memang Melayu. Kalau memang tidak biasa berpantun, akui saja. “Maafkan saya, Kawan-kawan. Saya tak pandai berpantun,” begitu saja, selesai. Apa boleh buat, kesombongannya sebagai penulis kawakan harus dibayar mahal: menyerah.

Kasihannya lagi, orang sehebat Daniel begitu lancang sesumbar, “Kalau berbalas pantun dengan kawan-kawan dari Malaysia, seorang Indonesia pasti kalah.” Terlalu terburu-buru sebelum seorang Daniel benar-benar telah melakukan pengembaraan bertahun-tahun di seluruh Indonesia, atau minimal dua tahun di Bangka Belitung.

Teramat kasihannya, ucapan itu diabadikan oleh buku terbitan Kompas tahun 2004! Seakan-akan di Indonesia sudah punah pemantun. Atau, para pemantun Indonesia hanya para pecundang yang cuma jago kandang. Seorang Daniel dan penerbit buku itu memang patut dikasihani dalam rangka pantun-berpantun, Saudara-saudari sepantun sedunia.

Sesumbarnya “seorang Indonesia pasti kalah” boleh dibilang “keji”, Saudara-saudari sepantun sedunia! Bayangkan, “seorang Indonesia”! Daniel pasti bisa memperkirakan berapa ratus juta penduduk Indonesia; berapa ratus juta Warga Negara Indonesia pasca tahun 2000. Masakan, dari sekian ratus juta penduduk Indonesia, “seorang Indonesia” atau “seorang” saja pasti kalah berbalas pantun dengan kawan-kawan dari Malaysia. Betapa kasihannya “seorang katak dalam bungkus tempurung dari ribuan kertas” ini.

Ketahuilah, wahai Kawan-kawan, Daniel Dhakidae tidak usah dipercaya seratus persen dalam menulis! Serius. Biarkan Daniel sendiri yang mampus ketika harus berbalas pantun dengan kawan-kawan dari Malaysia. Biarkan “mayatnya terapung dan dimangsa ikan bilis dan kerisi” di Selat Malaka sana. Biarkan. Biarkan. Mengapa begitu, Saudara-saudari sepantun sedunia?

Begini saja, tidak perlu begitu. Masih ada “seseorang” di antara sekian jumlah pemantun dan ratusan juta penduduk Indonesia yang tidak kalah dengan para pemantun dari Negeri Jiran itu. “Seseorang” ini hanya seorang buruh harian di tempat pelelangan ikan desa Kurau, Bangka Tengah. Pendidikannya hanya sampai SD, dan tidak tamat. Tentu saja wawasannya sangat jauh di bawah kelas seorang Daniel Dhakidae. Siapakah “seseorang” itu, Saudara-saudari sepantun sedunia?

Namanya Kario, Saudara-saudari sepantun sedunia ! Sering juga Kario Kurawa bin Nawi. Lahir di desa Kurau, Bangka Tengah, Bangka Belitung, 1 Januari 1978. Nama sambungan “Kurawa” diambilnya dari kata “Kurau”, desa kelahirannya. Sebelum tahun 2005, Kario hanyalah seorang buruh harian. Dia bukan seorang penulis pantun yang berkibar-kibar namanya, apalagi seorang penulis sekelas Daniel Dhakidae itu. Dia seorang pemantun lisan; setiap hari berbicara penuh pantun. Namanya sebagai pemantun tidaklah tenar sama sekali dalam hingar-bingar dunia sastra Indonesia.

Tahun 2003 dia mulai tampil dalam pertandingan berbalas pantun. Pertama kali dalam Lomba Pantun di acara Hari Ulang Tahun PT Kobatin (sebuah perusahaan penambangan timah yang dulu milik Australia), Bangka Tengah. Lomba Pantun bukanlah lomba menulis pantun, sebab di sana pantun lebih dikenal sebagai pantun lisan. Kau bisa bayangkan, sebuah lomba tingkat umum, di suatu daerah berbudaya Melayu, dan tentunya diikuti pula oleh guru-guru sekolah menengah atas yang jelas secara pendidikan dan sosialnya, dan di situ seorang Kario yang belajar di SD saja tidak tamat tetapi berani bertanding. Hasil yang diraihnya dalam lomba itu : JUARA I!

Masih di tahun 2003, Saudara-saudari sepantun sedunia. Kario mengikuti Lomba Pantun se-Kabupaten Bangka Tengah. Dia meraih JUARA I. Berikutnya, Lomba Pantun se-Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, juara I dibawanya pulang ke Kurau. Pernah menonton film “Laskar Pelangi”, dimana ada adegan anak-anak Belitung berpantun? Begitulah adanya sebagian masyarakat Bumi Serumpun Sebalai alias Bangka Belitung.

Dalam lingkup dunia persilatan pantun Bangka Belitung, Kario memang jawaranya; rajanya. Ada yang menggelari Kario “Raja Pantun Bangka Belitung”. Sedangkan Gus Noy lebih suka memberi gelar “Datuk Pelantun Kata”. Namun, Saudara-saudari sebangsa dan setanah air, sepantun dan sedunia pantun, tidaklah cukup berpantun hanya dalam provinsi yang satu atau senegara yang satu, jika sebagian orang sependapat dengan Daniel Dhakidae, “Kalau berbalas pantun dengan kawan-kawan dari Malaysia, seorang Indonesia pasti kalah.” 

Di tahun itu pula diadakan acara Festival Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI), yang dituanrumahkan oleh Pangkal Pinang, ibukota Babel. Para pesertanya tentu saja dari rumpun Melayu, termasuk Malaysia. Dalam agenda acara tersebut ada juga Lomba Pantun. Kario ikut bertarung pantun di sana, mewakili Kabupaten Bangka Tengah. Hasilnya sangat telak: JUARA I.

Mungkin ada yang menyangka, faktor tuan rumah menjadi penambah mental bagi seorang petarung. Sangkaan semacam “katak di dalam tempurung” alias “pecundang jago kandang”. Baiklah. Sangkaan yang umum, lumrah, jamak, dan biasa. Tapi tidak bisa begitu melulu, Saudara-saudari sepantun sedunia!

Tahun 2004 Festival Dunia Melayu Dunia Islam diselenggarakan di Malaysia. Ibaratnya seperti pecundang Daniel Dhakidae itu, “Inilah kandang harimau Pantun Melayu!” Ya, kalau kau percaya pada doktrinnya Daniel Dhakidae, betapa ngeri “menghalau harimau-harimau pantun Melayu dalam kandang harimau itu”. Itu yang Daniel bilang, “Seorang Indonesia pasti kalah, kalau berbalas pantun dengan kawan-kawan dari Malaysia.”

Sekali lagi, jangan percaya ucapan seorang pecundang, Saudara-saudari sepantun sedunia. Sang pecundang memang tidak terbiasa berpantun. Habitatnya memang dunia kata-kata dan prestasi sudah tiada terkata, tetapi tidaklah pernah bertarung pantun secara resmi dalam kategori lintas negara. Pantas saja si pecundang menyerah, apalagi di “kandang harimau”.

Dalam festival itu Kario ikut lagi tapi kali ini mewakili Babel. Mental anak kampung yang penuh amis ikan itu tidak seperti si penulis besar tapi pecundang. Kario berduel dengan para pemantun dari seluruh negeri ranah Melayu. Alhasil, di “kandang harimau” dalam Festival DMDI tersebut Kario menangguk JUARA I, Saudara-saudari sepantun sedunia!

Masih di tahun 2004. Kario juga tampil dalam Lomba Pengucapan Pantun se-Dunia di Hang Tuah, Malaysia. Dan dia menjadi jawara di sana; lagi-lagi di “kandang harimau pantun Melayu”! Harimau-harimau pantun Malaysia harus mengakui kehebatan seorang buruh yang sehari-harinya hanyalah buruh harian yang berkutat dengan bau amis ikan dan semerbak keringat para nelayan alias “Sang Datuk Pelantun Kata dari desa Kurau” yang sangat tidak terkenal, baik di Indonesia maupun dunia.

Dari semua pertarungan pantun itu, semuanya pula dicapai oleh seorang Kario dengan hasil “Juara I”. Tidak ada juara harapan seratus yang hanya mendapat hiburan berupa lagu-lagu hiburan atau dihibur oleh para hiburan, apalagi juara II. Suatu pencapaian yang sangat tidak sembarangan. Tidak keliru jika ada yang kemudian menggelarinya, “Raja Pantun Melayu”.

Di samping pertarungan-pertarungan pantun, selanjutnya Kario menjadi tamu undangan khusus sebagai pemantun. Misalnya Seminar DMDI di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Pertemuan Seniman Rumpun Melayu di Air Keroh, Malaysia, dan acara-acara adat lainnya, termasuk sebuah hajatan pernikahan anak petinggi Pangkal Pinang yang diselenggarakan di Jakarta.

Hari-harinya memang masih sebagai buruh harian di tempat pelelangan ikan, desa Kurau. Itu pekerjaan utamanya. Barulah tahun-tahun selanjutnya Kario diberi kesempatan mengajar pantun di sebuah SD di desa Kurau. Kau bayangkan saja, orang tidak tamat SD tapi “mengajar” di sebuah SD. Apalagi dia belum juga tertarik dengan dunia internet seperti Saudara-saudari sepantun sedunia ini.

Selain menjadi buruh, dan pengajar pantun di sebuah SD, Kario juga diminta mengisi acara berbalas pantun setiap minggu di sebuah radio FM Pangkal Pinang, yang jaraknya sekitar 30 km dari desanya. Kini sebagian wilayah Babel sudah bisa mendengar suara dan pantunnya. Kario pun sadar bahwa tradisi berpantun memang tradisi masyarakat Bangka Belitung.

Harian Umum KOMPAS (Sabtu, 07 Oktober 2006, hal.16) melalui rubrik Sosok dan ditulis oleh Emilius Caesar Alexey, barulah mengulas sedikit profil Kario beserta aktivitasnya. Sebagian kutipan dari harian tersebut, “Di antara masyarakat yang gemar berpantun itu, terdapat satu orang yang layak disebut pujangga pantun terbaik. Pujangga itu, Kario, mampu berbalas pantun sampai ratusan kali dalam dua jam, "melawan" ratusan orang. Dia mampu mengalahkan semua jawara pantun di seluruh rentang tanah Melayu dalam acara "Dunia Melayu Dunia Islam" di Malaka, Malaysia, tahun 2004.”

Nah, itulah! Sangat mengejutkan, “Dia mampu mengalahkan semua jawara pantun di seluruh rentang tanah Melayu”. Semua jawara pantun tanah Melayu.

Tahun 2008 merupakan tonggak awal dalam salah satu upaya pengabadian karyanya. Pada tahun itu buku kumpulan pantun perdananya terbit, “Pantun Melayu Negeri Selawang Segantang”. Upaya tersebut bekerjasama dengan Dinas Pendidikan, Kebudayaan dan Pariwisata Bangka Tengah. Buku setebal 86 halaman tersebut berisi aneka pantun seperti pantun pembuka, agama, nasehat, teka-teki, jenaka, narkoba, wisata, hingga nelayan, yang merupakan pantun-pantun terbarunya. Kario sengaja menciptakan pantun-pantun terbarunya itu untuk pariwisata di Bangka Tengah.

Kario pun sering diminta tampil dalam acara-acara budaya atau apa saja, terutama di Bangka Belitung. Apalagi kalau bukan berpantun, dan tentunya ada ‘lawan’ berpantunnya. Meski penghidupannya sudah berangsur bagus, seorang Kario tetaplah anak kampung, budak Kurau, yang santun dan ramah terhadap banyak orang, termasuk jika kau mengunjunginya di sana.  

Dengan kehadiran Kario Kurawa bin Nawi alias Sang Raja Pantun Melayu pasca 2000 dalam tulisan ini, semoga Saudara-saudari sepantun sedunia melupakan doktrin seorang Daniel Dhakidae, “Kalau berbalas pantun dengan kawan-kawan dari Malaysia, seorang Indonesia pasti kalah ”, dan proklamasi murahannya, “Pantun sudah mati, hidup pantun!”

*******
Balikpapan, 22 Desember 2011

2 komentar:

  1. Balasan
    1. Di Bangka, pantun lestari. Beberapa radio masih menyiarkan acara berbalas pantun. Juga lomba berbalas pantun.

      Hapus