Rabu, 31 Juli 2013

Pemantun dan Jawara Pantun


Pengertian mengenai pantun (parikan dalam bahasa Jawa, paparikan dalam bahasa Sunda) beserta bla-bla-bla-nya sudah termuat dalam buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, juga dalam beberapa buku teori sastra untuk umum. Tulisan ini tidaklah perlu mengulas begini-begitu seakan “mengajari ikan berenang”. Kalaupun masih sedikit menyinggungnya, tidaklah untuk memberi semacam teori atau, istilah seorang kawan, “ilmu jadikan paham”.

Sebagian Sidang Pembaca pasti sudah mengerti sejarah pantun yang kemudian menjadi tonggak sejarah perpantunan Indonesia secara tertulis, namun barangkali sebagian lainnya belum sampai ke sana. Maka, tulisan ini, biarlah, sebentar saja berbagi mengenai hal itu sekilas. Kalau mau dua kilas bahkan berkilas-kilas, silakan mencarinya sendiri di buku-buku maupun bertanya pada Atuk Google.

Perihal pantun menjadi sebuah bahan pembicaraan di kalangan ahli-ahli sastra dan tercatat dalam buku-buku, justru karena tulisan orang Belanda. Pertama-tama, oleh Mr. H.C. Klinkert pada tahun 1868, dengan tulisan “de Pantuns of Minnezangen der Maleiers” (Pantun atau Nyanyian Orang Melayu Berkasih-kasihan) dan disiarkan dalam surat “Bijdragen tot de Taal-, Lan-en Volkenkunde van Ned-Indie” (Bantuan bagi Ilmu Bahasa, Ilmu Negeri dan Bangsa-bangsa tanah Hindia). 

Kedua, oleh Prof. Pijnappel pada tahun 1883. Ketiga oleh L.K. Harmsen. Berikutnya, dan yang paling dikenal, adalah Mr. C.H. A. van Ophuysen pada tahun 1904 dalam sebuah pidato pengangkatannya sebagai Guru Besar (Profesor) di sebuah perguruan tinggi di Leiden, Belanda.  Mr. Van Ophuysen inilah yang kemudian membagi pantun dalam kategori ini-itu, dan dipelajari kembali oleh orang-orang Indoensia melalui pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sampai sekarang.

Apa pun pendapat, pengertian, teori, dan bla-bla-bla tentang pantun, yang terpenting adalah pantun merupakan salah satu bagian dari sastra lisan. Kata kuncinya: lisan. Kata “lisan”, menurut W.J.S. Poerwadarminta, lidah; perkataan yang diucapkan dengan mulut. Jadi, pantun adalah sastra yang diucapkan melalui mulut.

Perkembangan dunia percetakan telah merambah ke rumpun pantun-memantun. Pantun yang dikenal sehari-hari sebagai bagian pergaulan masyarakat tradisional, beranjak ke pantun sebagai bahasa tertulis yang semula diajarkan kepada anak-anak Sekolah Dasar, dimuat di media cetak hingga menjadi buku-buku semacam kumpulan pantun. Perkembangan teknologi, semisal telpon selular ataupun internet, kian mengukuhkan pantun dalam ranah tulisan.

Ketika pantun sudah menjadi bagian dalam sastra tulisan, mulailah pantun dikritisi berdasarkan ilmu bahasa yang begini-begitu. Lahir pula pendapat bahwa pantun yang baik itu harusnya anu. Pendapat tersebut pun diperdebatkan lagi bahwa pantun yang baik bukan sekadar anu. Ketika sudah diperdebatkan secara sengit, lahirlah pantun yang terbaik itu adalah... halah!

Tulisan ini tidak ingin terjerumus dalam perdebatan halah apa pun itu, melainkan ingin kembali kepada pantun sebagai salah satu sastra lisan; sastra yang diucapkan melalui mulut, bukan jari. Dan perlombaan atau kegiatan berpantun yang masih menjadi tradisi di beberapa daerah di Indonesia adalah pantun lisan.

Pemantun sejati, siapakah yang layak mendapatkan sebutan itu? Jawara Pantun dan Raja Pantun, siapakah pula yang layak mendapatkan gelar itu?

Sebutan ataupun gelar pemantun apalagi jawara pantun lebih sering diberikan kepada pemantun lisan, sama sekali bukan pemantun tulisan. Kalaupun ada lomba-lomba menulis pantun, tidaklah langsung bisa menyematkan gelar pemantun sejati apalagi jawara pantun kepada para pemenangnya.

Memang, bahwa pantun tulisan itu penting, juga harus dikritisi dalam ranah yang berbeda. Sebab pantun tertulis dan dimuat dalam bentuk cetak, justru turut mengabadikan sebuah pelestarian tradisi sastra lisan yang sudah tertulis. Tidak pantas dinafikkan hal semacam itu. Ucapan terima kasih pun pantas untuk penulis pantun, pemuat pantun, ahli-ahli sastra lewat tulisan dalam buku-buku mereka, pemilik media cetak, stasiun selular, internet, dan lain-lain.

Namun, sekali lagi, sebutan kepada pemantun sejati apalagi jawara pantun tetap kembali kepada pemantun lisan. Kenapa begitu? Karena ada “pertarungan langsung” di situ untuk mendapat sebutan “pemantun sejati” bahkan “jawara pantun”. Bukankah pada era internet ini memungkinkan untuk “beradu” pantun secara langsung, meski lewat tulisan pantun?

Sekali lagi, beradu pantun bukan beradu menulis pantun. Bertarung pantun bukanlah bertarung karya (tulisan yang disebut) pantun. Dalam pergaulan internet yang masih berkutat pada ketik-mengetik tulisan, ada beberapa kelompok, semisal kelompok orang Bangka, berkomunikasi secara pantun terus dilakukan. Ketika seseorang menuliskan sebuah pantun, akan dijawab oleh seseorang bahkan sekian orang lainnya. Dan mereka bersenda-gurau secara pantun tertulis. Pantun-pantun hasil obrolan mereka juga bagus-bagus, dan memang muncul secara spontan.

Bagus-bagus, dan muncul secara spontan? Tapi sehebat apa pun pantun yang mereka buat, atau spontanitas apa pun, tidak lantas seketika menorehkan sejarah apa pun mengenai kesejatian seorang pemantun apalagi seorang jawara pantun!

Waduh, jangan terburu-buru bilang “tidak lantas seketika menorehkan sejarah apa pun mengenai kesejatian seorang pemantun apalagi seorang jawara pantun!” begitu dong. Hargai dong usaha keras mereka, dan bisa jadi nantinya ada gelar untuk itu. Tulisan ini kok gegabah mengumbar deklarasi sih?

Baiklah. Begini. Lagi-lagi harus diingatkan, pantun itu sastra lisan. Seseorang disebut pemantun adalah karena kesehariannya berbahasa pantun dalam pergaulan. Bukan ikut-ikutan, apalagi karena dipaksa. Catat : kesehariannya alias setiap hari dalam berbicara atau beromong dengan orang lain secara lisan.

Sebagian masyarakat Indonesia masih melakukannya dalam keseharian mereka, dan sangatlah boleh-patut disebut pemantun. Tidak usah ditanya, apakah mereka paham soal pantun yang anu nan halah, siapa pengamat atau kritikus pantun, siapa ahli sastra, bahkan siapa itu Mr. H.C. Klinkert, Prof. Pijnappel, L.K. Harmsen, atau Mr. C.H. A. van Ophuysen.
 

Tetapi untuk menjadi jawara pantun, tentu harus melewati pertarungan-pertarungan pantun. Pertarungan pantun adalah pertarungan lisan. Jelas tidak main-main atau sekadar obrolan seperti dua orang bertemu di sebuah ladang atau kebun, semisal orang-orang di pelosok Bangka Belitung.

Nah, ketika pertarungan lisan berlangsung di sebuah panggung, baik panggung biasa maupun kelak panggung maya, beberapa hal terpenting yang harus dimiliki oleh si pemantun.

Selain paham mengenai pantun dan budayanya, yang memang wajib dimiliki oleh seorang pemantun, juga memiliki kemampuan otak yang kaya perbendaharaan kata, baik yang berkaitan dengan alam maupun yang sudah ke benda atau hal-hal lainnya alias wawasan. Karena hal itu bisa dijadikannya sebagai sampiran yang berpengaruh penting terhadap rima pada isinya.

Mengenai rima atau kesamaan bunyi ini seringkali membuat orang bilang, “Ah, mudah dong berpantun.” Orang siapa pun boleh-boleh saja bilang “mudah berpantun asalkan rimanya dicari-cari”. Dalam pantun tulisan pun sering dijumpai “usaha” memadu-madankan rima, malahan hanya pada satu huruf di ujung kata.

Kemudian, kemampuan mendengar. Pada saat sebuah pantun dilemparkan oleh seseorang, “lawan”-nya harus menyimak baik-baik seluruh pantun itu. Barulah dicerna, diolah, lantas muncul pantun balasan. Karena, kalau kemampuan mendengarnya tidak baik, balasan pantun pun bisa jadi “jaka sembung” alias “tidak nyambung”.

Lalu kemampuan berbicara secara jelas dan lugas, yang tentunya melantun-lantun selayaknya berpantun. Tidak sedikit orang pandai alias berotak brilyan tetapi gagal menyampaikan sesuatu ketika berbicara dengan orang lain. Ada pula orang yang pandai bicara ngalor-ngidul hilir-mudik sana-sini tetapi, seperti di atas, jadi “jaka sembung” alias “tidak nyambung”.

Dalam pertarungan pantun, kemampuan telinga, otak, dan mulut harus berada dalam satu garis komando. Balasan pantun, khususnya isi, harus mendapat balasan, minimal setimpal. Petarung bukan Jaka Sembung, apalagi tiba-tiba berubah jadi Jaka Gledek alias “sesukanya ngeledek”. Berpantun pun bukan sekadar berbicara dengan datar-datar saja atau malah menanjak menjadi membentak-bentak.

Satu lagi yang harus segaris komando, yakni nyali alias mental. Bertarung pantun adalah juga bertarung mental atau nyali! Mental harus ditampilkan pula secara langsung di panggung, dan disaksikan oleh para juri, budayawan, dan penonton umum. Dalam hitungan sepersekian detik, seorang pemantun harus siap, baik bertahan maupun menyerang (membalas).

Di dalam mental seorang petarung pantun harus berisi kesabaran, kesopan-santunan, ketangguhan, dan keberanian. Mendengar, mencerna, mengolah, dan melontarkan balasan pantun masih dalam koridor berpantun. Dengan begitu, seorang petarung pantun yang kemudian menang, layaklah menjadi jawara pantun.

Oleh karenanya, seorang pemantun apalagi seorang jawara pantun bukanlah seorang yang pandai menulis pantun. Dalam pergaulan sehari-hari seorang pemantun apalagi jawara pantun, berpantun adalah berkomunikasi. Seorang pemantun apalagi seorang jawara pantun bukanlah seorang yang jenius dalam memahami seluk-beluk serta seluk-belukar pantun beserta siapa saja para pakar pantunnya. Seorang jawara pantun bukan juga seorang yang jenius dalam mengritisi pantun.

Terakhir, jawara pantun bernama Kario Kurawa yang tidak menamatkan pendidikan sekolah dasar, sudah membuktikan bahwa seorang pemantun dan jawara pantun bukanlah orang-orang yang bergelar pendidikan tinggi atau penulis hebat semacam Dhaniel Dhakidae atau malah penulis mbeling semacam Gus Noy, apalagi sudah guru besar alias profesor semacam Mr. C.H. A. van Ophuysen.  

*******

Selamat meninggalkan tahun 2011, dan selamat menyambut tahun 2012!

Balikpapan, 31 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar