Pengertian
mengenai pantun (parikan dalam bahasa
Jawa, paparikan dalam bahasa Sunda) beserta
bla-bla-bla-nya sudah termuat dalam
buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, juga dalam beberapa buku teori sastra
untuk umum. Tulisan ini tidaklah perlu mengulas begini-begitu seakan “mengajari
ikan berenang”. Kalaupun masih sedikit menyinggungnya, tidaklah untuk memberi
semacam teori atau, istilah seorang kawan, “ilmu jadikan paham”.
Sebagian
Sidang Pembaca pasti sudah mengerti sejarah pantun yang kemudian menjadi
tonggak sejarah perpantunan Indonesia secara tertulis, namun barangkali
sebagian lainnya belum sampai ke sana. Maka, tulisan ini, biarlah, sebentar
saja berbagi mengenai hal itu sekilas. Kalau mau dua kilas bahkan
berkilas-kilas, silakan mencarinya sendiri di buku-buku maupun bertanya pada Atuk Google.
Perihal
pantun menjadi sebuah bahan pembicaraan di kalangan ahli-ahli sastra dan
tercatat dalam buku-buku, justru karena tulisan orang Belanda. Pertama-tama,
oleh Mr. H.C. Klinkert pada tahun 1868, dengan tulisan “de Pantuns of
Minnezangen der Maleiers” (Pantun atau Nyanyian Orang Melayu Berkasih-kasihan)
dan disiarkan dalam surat “Bijdragen tot de Taal-, Lan-en Volkenkunde van
Ned-Indie” (Bantuan bagi Ilmu Bahasa, Ilmu Negeri dan Bangsa-bangsa tanah
Hindia).
Kedua,
oleh Prof. Pijnappel pada tahun 1883. Ketiga oleh L.K. Harmsen. Berikutnya, dan
yang paling dikenal, adalah Mr. C.H. A. van Ophuysen pada tahun 1904 dalam
sebuah pidato pengangkatannya sebagai Guru Besar (Profesor) di sebuah perguruan
tinggi di Leiden, Belanda. Mr. Van
Ophuysen inilah yang kemudian membagi pantun dalam kategori ini-itu, dan
dipelajari kembali oleh orang-orang Indoensia melalui pelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia sampai sekarang.
Apa pun
pendapat, pengertian, teori, dan bla-bla-bla
tentang pantun, yang terpenting adalah pantun merupakan salah satu bagian dari sastra
lisan. Kata kuncinya: lisan. Kata “lisan”, menurut W.J.S. Poerwadarminta, lidah; perkataan yang diucapkan dengan mulut. Jadi, pantun adalah sastra yang diucapkan melalui mulut.
Perkembangan
dunia percetakan telah merambah ke rumpun pantun-memantun. Pantun yang dikenal
sehari-hari sebagai bagian pergaulan masyarakat tradisional, beranjak ke pantun
sebagai bahasa tertulis yang semula diajarkan kepada anak-anak Sekolah Dasar,
dimuat di media cetak hingga menjadi buku-buku semacam kumpulan pantun. Perkembangan
teknologi, semisal telpon selular ataupun internet, kian mengukuhkan pantun
dalam ranah tulisan.
Ketika
pantun sudah menjadi bagian dalam sastra tulisan, mulailah pantun dikritisi
berdasarkan ilmu bahasa yang begini-begitu. Lahir pula pendapat bahwa pantun
yang baik itu harusnya anu. Pendapat
tersebut pun diperdebatkan lagi bahwa pantun yang baik bukan sekadar anu. Ketika sudah diperdebatkan secara
sengit, lahirlah pantun yang terbaik itu adalah... halah!
Tulisan
ini tidak ingin terjerumus dalam perdebatan halah
apa pun itu, melainkan ingin kembali kepada pantun sebagai salah satu sastra
lisan; sastra yang diucapkan melalui
mulut, bukan jari. Dan perlombaan atau kegiatan berpantun yang masih
menjadi tradisi di beberapa daerah di Indonesia adalah pantun lisan.
Pemantun
sejati, siapakah yang layak mendapatkan sebutan itu? Jawara Pantun dan Raja
Pantun, siapakah pula yang layak mendapatkan gelar itu?
Sebutan
ataupun gelar pemantun apalagi jawara pantun lebih sering diberikan kepada
pemantun lisan, sama sekali bukan pemantun tulisan. Kalaupun ada lomba-lomba
menulis pantun, tidaklah langsung bisa menyematkan gelar pemantun sejati apalagi
jawara pantun kepada para pemenangnya.
Memang,
bahwa pantun tulisan itu penting, juga harus dikritisi dalam ranah yang
berbeda. Sebab pantun tertulis dan dimuat dalam bentuk cetak, justru turut
mengabadikan sebuah pelestarian tradisi sastra lisan yang sudah tertulis. Tidak
pantas dinafikkan hal semacam itu. Ucapan terima kasih pun pantas untuk penulis
pantun, pemuat pantun, ahli-ahli sastra lewat tulisan dalam buku-buku mereka,
pemilik media cetak, stasiun selular, internet, dan lain-lain.
Namun,
sekali lagi, sebutan kepada pemantun sejati apalagi jawara pantun tetap kembali
kepada pemantun lisan. Kenapa begitu? Karena ada “pertarungan langsung” di situ
untuk mendapat sebutan “pemantun sejati” bahkan “jawara pantun”. Bukankah pada
era internet ini memungkinkan untuk “beradu” pantun secara langsung, meski
lewat tulisan pantun?
Sekali
lagi, beradu pantun bukan beradu menulis pantun. Bertarung pantun bukanlah
bertarung karya (tulisan yang disebut) pantun. Dalam pergaulan internet yang
masih berkutat pada ketik-mengetik tulisan, ada beberapa kelompok, semisal
kelompok orang Bangka, berkomunikasi secara pantun terus dilakukan. Ketika
seseorang menuliskan sebuah pantun, akan dijawab oleh seseorang bahkan sekian
orang lainnya. Dan mereka bersenda-gurau secara pantun tertulis. Pantun-pantun
hasil obrolan mereka juga bagus-bagus, dan memang muncul secara spontan.
Bagus-bagus,
dan muncul secara spontan? Tapi sehebat apa pun pantun yang mereka buat, atau
spontanitas apa pun, tidak lantas seketika menorehkan sejarah apa pun mengenai
kesejatian seorang pemantun apalagi seorang jawara pantun!
Waduh,
jangan terburu-buru bilang “tidak lantas seketika menorehkan sejarah apa pun
mengenai kesejatian seorang pemantun apalagi seorang jawara pantun!” begitu dong. Hargai dong usaha keras mereka, dan bisa jadi nantinya ada gelar untuk
itu. Tulisan ini kok gegabah mengumbar deklarasi sih?
Baiklah.
Begini. Lagi-lagi harus diingatkan, pantun itu sastra lisan. Seseorang disebut
pemantun adalah karena kesehariannya berbahasa pantun dalam pergaulan. Bukan
ikut-ikutan, apalagi karena dipaksa. Catat : kesehariannya alias setiap hari
dalam berbicara atau beromong dengan orang lain secara lisan.
Sebagian masyarakat Indonesia masih melakukannya dalam keseharian
mereka, dan sangatlah boleh-patut disebut pemantun. Tidak usah ditanya, apakah
mereka paham soal pantun yang anu nan
halah, siapa pengamat atau kritikus pantun, siapa ahli sastra, bahkan siapa
itu Mr. H.C. Klinkert, Prof. Pijnappel, L.K. Harmsen, atau Mr. C.H. A. van
Ophuysen.
Tetapi
untuk menjadi jawara pantun, tentu harus melewati pertarungan-pertarungan
pantun. Pertarungan pantun adalah pertarungan lisan. Jelas tidak main-main atau
sekadar obrolan seperti dua orang bertemu di sebuah ladang atau kebun, semisal orang-orang
di pelosok Bangka Belitung.
Nah, ketika
pertarungan lisan berlangsung di sebuah panggung, baik panggung biasa maupun
kelak panggung maya, beberapa hal terpenting yang harus dimiliki oleh si
pemantun.
Selain
paham mengenai pantun dan budayanya, yang memang wajib dimiliki oleh seorang
pemantun, juga memiliki kemampuan otak yang kaya perbendaharaan kata, baik yang
berkaitan dengan alam maupun yang sudah ke benda atau hal-hal lainnya alias
wawasan. Karena hal itu bisa dijadikannya sebagai sampiran yang berpengaruh penting
terhadap rima pada isinya.
Mengenai
rima atau kesamaan bunyi ini seringkali membuat orang bilang, “Ah, mudah dong
berpantun.” Orang siapa pun boleh-boleh saja bilang “mudah berpantun asalkan
rimanya dicari-cari”. Dalam pantun tulisan pun sering dijumpai “usaha”
memadu-madankan rima, malahan hanya pada satu huruf di ujung kata.
Kemudian,
kemampuan mendengar. Pada saat sebuah pantun dilemparkan oleh seseorang,
“lawan”-nya harus menyimak baik-baik seluruh pantun itu. Barulah dicerna,
diolah, lantas muncul pantun balasan. Karena, kalau kemampuan mendengarnya
tidak baik, balasan pantun pun bisa jadi “jaka sembung” alias “tidak nyambung”.
Lalu
kemampuan berbicara secara jelas dan lugas, yang tentunya melantun-lantun
selayaknya berpantun. Tidak sedikit orang pandai alias berotak brilyan tetapi
gagal menyampaikan sesuatu ketika berbicara dengan orang lain. Ada pula orang
yang pandai bicara ngalor-ngidul hilir-mudik sana-sini tetapi, seperti di atas,
jadi “jaka sembung” alias “tidak nyambung”.
Dalam
pertarungan pantun, kemampuan telinga, otak, dan mulut harus berada dalam satu
garis komando. Balasan pantun, khususnya isi, harus mendapat balasan, minimal
setimpal. Petarung bukan Jaka Sembung, apalagi tiba-tiba berubah jadi Jaka
Gledek alias “sesukanya ngeledek”. Berpantun
pun bukan sekadar berbicara dengan datar-datar saja atau malah menanjak menjadi
membentak-bentak.
Satu
lagi yang harus segaris komando, yakni nyali alias mental. Bertarung pantun
adalah juga bertarung mental atau nyali! Mental harus ditampilkan pula secara
langsung di panggung, dan disaksikan oleh para juri, budayawan, dan penonton
umum. Dalam hitungan sepersekian detik, seorang pemantun harus siap, baik
bertahan maupun menyerang (membalas).
Di dalam
mental seorang petarung pantun harus berisi kesabaran, kesopan-santunan, ketangguhan,
dan keberanian. Mendengar, mencerna, mengolah, dan melontarkan balasan pantun
masih dalam koridor berpantun. Dengan begitu, seorang petarung pantun yang
kemudian menang, layaklah menjadi jawara pantun.
Oleh
karenanya, seorang pemantun apalagi seorang jawara pantun bukanlah seorang yang
pandai menulis pantun. Dalam pergaulan sehari-hari seorang pemantun apalagi
jawara pantun, berpantun adalah berkomunikasi. Seorang pemantun apalagi seorang
jawara pantun bukanlah seorang yang jenius dalam memahami seluk-beluk serta
seluk-belukar pantun beserta siapa saja para pakar pantunnya. Seorang jawara
pantun bukan juga seorang yang jenius dalam mengritisi pantun.
Terakhir,
jawara pantun bernama Kario Kurawa yang tidak menamatkan pendidikan sekolah
dasar, sudah membuktikan bahwa seorang pemantun dan jawara pantun bukanlah
orang-orang yang bergelar pendidikan tinggi atau penulis hebat semacam Dhaniel
Dhakidae atau malah penulis mbeling
semacam Gus Noy, apalagi sudah guru besar alias profesor semacam Mr. C.H. A.
van Ophuysen.
*******
Selamat meninggalkan tahun
2011, dan selamat menyambut tahun 2012!
Balikpapan,
31 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar